Senin, 06 Oktober 2014

Berkurban Sepanjang Tahun

"Berkurban itu tidak harus dengan kambing atau sapi", itu kata suamiku, pendapatnya sungguh mengejutkan, tapi aku sedang mau membahas pendapatku sendiri saja , yang penasaran dengan pendapat suamiku kuucapkan selamat penasaran ..... hehehe.

Gara-gara menyaksikan sendiri terjadinya penumpukan daging kurban di beberapa tempat, aku jadi merenung.  Aku sendiri mendapat kiriman dari beberapa orang yang totalnya mencapai 6 kg !

Daging kurban melimpah-limpah di rumahku, di kebunku (di daerah Gua Cina - Bajul Mati Malang Selatan), dan di pesantren Gubug.  Apakah karena distribusi yang tidak merata ? ataukah karena saking makmurnya umat Islam hingga lebih banyak yang berkurban dibanding yang tidak ?

Aku merenung.  Selain merenungkan daging kurban, juga merenungkan perintah zakat fitrah yang berupa makanan pokok di hari raya Iedul Fitri. Coba ikutan merenung, dan sampailah pada kesimpulan bahwa yang kita lakukan di kedua hari raya itu adalah memberi makanan pokok dan lauknya ! Yang berarti amat penting mengeluarkan kedua jenis bahan makanan itu, bukan hanya saat hari raya saja.

Terlebih bila dihubungkan dengan ayat tentang memberi makan fakir miskin yang banyak sekali disebutkan dalam al quran, terlihat nyata adanya keterkaitan yang kuat.  

Pesan yang bisa aku tangkap adalah kita disuruh berbagi yang berupa makanan / bahan makanan sepanjang tahun , sedangkan moment di kedua hari raya, saat kita membayar zakat fitrah dan berkurban itu adalah 'gong'nya, sebagai puncak pesta-nya, dan juga sebagai pengingatnya, yang mengingatkan kita bahwa kita punya kewajiban terhadap fakir miskin (plus 7 golongan lainnya) sepanjang tahun.

Itulah kesimpulanku, apa kesimpulan kalian ?

Pertanyaan selanjutnya, apa hikmah yang tersembunyi dibalik perintah berbagi makanan ? mengapa makanan ? mengapa bukan berbagi duit saja ?

Kayaknya sih, untuk memahami itu kalian musti rajin berbagi makanan / bahan makanan dulu. barulah sampai pada menemukan hikmahnya.

Ada 3 kebutuhan dasar manusia yaitu makan, sandang dan papan, sementara  manusia musti saling membantu sesamanya agar bisa hidup layak dalam arti terpenuhinya 3 kebutuhan dasar ini. Cara yang paling tepat sasaran  adalah membantunya memenuhi kebutuhan perutnya dulu, agar mereka bisa berusaha untuk mendapatkan kebutuhan lainnya. Kita tahu, manusia tidak bisa berusaha dalam keadaan yang lemah karena perut kosong dan kelaparan.

Bagaimana fakir miskin bisa keluar dari jeratan kemiskinan bila setiap hari yang mereka usahakan hanyalah upaya memenuhi kebutuhan perutnya saja, dari hari ke hari berputar-putar saja dalam upaya mempertahankan hidup. Kapan mikirin hal lain ? kapan mikir pendidikan yang bisa meningkatkan taraf hidup ?

Bila kita bisa membantu urusan makanan mereka, kita sudah melepaskan mereka dari sebuah beban, agar mereka lebih leluasa memikirkan masa depan mereka dan keluarganya.

Ingat tulisanku di awal tentang pendapat suamiku bila berkurban tidak harus dengan binatang sembelihan ? Aku tidak setuju dengan pendapatnya, tapi aku mencoba mengerti .... hmmm .... coba renungkan saat mereka menerima daging kurban yang bertumpuk, tapi tidak punya beras?

"Daging kurban boleh dijual gak dik oleh penerimanya ?", tanya suamiku lugu ,"Yaah, untuk beli beras misalnya ".

"Ya boleehlah , terserah sama si penerimanya laaah", kataku.

Bila pendapat suamiku ; 'berkurban tidak harus menyembelih binatang', maka pendapatku adalah ; 'berkurban tidak harus di hari raya Iedul Adha'.  Bingung ya dengan pendapat kedua calon ahli kubur ini ? hihihihihi ....

Sudahlah, pendapatku dan pendapat suamiku tidak penting.  Sekarang mari kita renungkan lagi fenomena qurban di masyarakat.

Saat Iedul Adha, kita lihat banyak orang sibuk melaksanakan qurban dan sibuk berbagi.  Yang menjadi pertanyaan adalah ; di hari-hari yang lain apakah mereka masih disibukkan dengan berbagi dan mengurus fakir miskin ? Semoga jawabannya iya, yang berarti mereka telah mendapatkan esensi dari perintah berkurban.

Akan halnya aku, tiba-tiba jadi punya pikiran nyeleneh, aku kok kepingin mengalah saja saat hari raya qurban.  Yang aku maksud dengan mengalah, aku tidak berkurban di hari raya kurban karena yang berkurban sudah banyak, aku mau berkurbannya di hari-hari lain yang tidak ada orang berkurban.  Mungkin 'gaya berkurbanku' ini bakalan diprotes para ahli agama .... tapi kali ini aku ra urus .... karena .... karena .... ada ceritanya sih.

Baiklah aku mau cerita, walau dengan menitikkan air mata. Entah kenapa, Allah mendekatkan aku dengan golongan kaum dhuafa (kaum yang lemah).  Banyak diantara mereka yang untuk makan saja susah, kadang seharian tidak makan bila tidak ada yang memberi, karena mereka juga tidak berani berhutang. Merekapun bukan orang yang malas, bahkan mereka bekerja keras dengan jam kerja melebihi kerjaan orang kantoran.

Banyak yang tidak mikirin mereka setelah usai pesta kurban. Jadi , aku ambil kesempatan ini. Dan mungkin juga berkurbannya jadi ikutan pendapat suamiku yang tidak harus dengan kambing, sapi atau unta, mungkin dengan 'menyembelih' beras, nasi bungkus, ayam, kue dll.  Dan mungkin juga nilai kurbanku jadi setara dengan menyembelih seekor-dua ekor kambing setiap bulannya, bahkan setara dengan seekor sapipun boleh bila Allah berkenan.

Bila ada yang bertanya ; apakah itu bukan menyalahi syariat ? .... maka aku jawab, apakah berkurban seperti caraku dilarang Allah ? ayat mana yang melarang ?

Masih setahun untuk sampai pada Iedul Adha lagi, apakah nantinya pada 'puncak pesta' kurban, aku berkurban lagi atau tidak ? Itu terserah Allah, pasti Allah menuntun hatiku untuk memutuskan.  Yang jelas, aku mau berkurban sepanjang tahun, setiap hari, setiap ada yang membutuhkan dan aku ada.

Bagaimana dengan kalian ?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar