Senin, 15 September 2014

Misteri Shalat Jumat Terakhir Bapak

Bapak meninggal pada Minggu, 7 september 2014 jam 7.15 WIB.

InshaAllah bapak khusnul khatimah, bapak selalu berdzikir dalam saat-saat terakhirnya, dan bapak semasih sugengnya selalu shalat lima waktu berjamaah ke masjid, bapak juga orang yang baik.


Bapak dan Ibu di depan rumah ibu yang kuno di Ngantang

Ada kisah yang mengharukan sekaligus membuat merinding berkenaan dengan akhir hidup bapak.

Ceritanya, bapak pas hari Jumat tgl 5 september, merasa tidak enak badan lalu ke puskesmas, siangnya bapak tidur (mungkin obat dari puskesmas membuat bapak mengantuk).  Adikku Ida tidak membangunkan bapak untuk menunaikan shalat jum'at, karena tidak tega melihat bapak begitu pulas.  Jadilah hari itu bapak tidak menunaikan shalat jum'at.

Shalat jumat bapak terakhir sebelum meninggal adalah di masjid Mandjoeri dua minggu yang lalu, begitu cerita mbakku.

Tapi herannya setelah meninggalnya bapak, beberapa tamu yang datang untuk mengucap bela sungkawa, banyak yang bilang melihat bapak shalat jum'at di masjid baiturrakhiim pada tgl 5 septermber itu,  bahkan ada yang bilang shalat di samping bapak. Ajaib, seolah-olah bapak punya cloning .....

Aku langsung teringat kisah jaman dulu, ada seorang yang berniat naik haji, tapi urung karena memberikan seluruh biaya hajinya pada sebuah keluarga yang kelaparan.  Ajaibnya sepulang musim haji, banyak orang bercerita  melihat dia naik haji, padahal dia tidak menunaikannya.

Kisah bapak merupakan versi lain dari kisah jaman dulu, mungkin malaikat yang mewakili bapak.  Bukankah seseorang akan selalu mendapatkan apa yang diniatkannya ? niat shalat jumat yang tidak kesampaianpun masih terwujud dengan pertolonganNya.  Jadi mari kita punya niat yang baik dalam segala hal, tak masalah terwujud atau tidak, karena Allah pasti mewujudkan dengan caraNya.

Berpulangnya bapak inipun merupakan pengalamanku untuk kedua kalinya menyaksikan meninggalnya  orang yang selalu taat shalat 5 waktu berjamaah di masjid. Sungguh sebuah pengalaman yang indah.

Pengalamanku yang pertama adalah saat meninggalnya tetanggaku di Ngantang, almarhum pak Djai, beliau teman bapak, rumahnya tidak jauh dari rumah ibu,  aku pernah menceritakannya di blog, tapi baiklah aku ceritakan sekali lagi.

Beliau orang yang selalu shalat 5 waktu di masjid.  Wajahnya 'mencureng' karena 2 alisnya saling bertaut, kulitnya sawo matang, singkat kata beliau tidak ganteng sama sekali, bahkan terkesan 'angker'.  Tapi beliau meninggal dengan khusnul khatimah, tidak pakai sakit, berbaring langsung lessss ...... Dan kulihat wajah beliau di alam lain (aku diberi kelebihan Allah bisa melihat kesudahan orang yang meninggal dengan ijinNya), berubah jadi ganteng dan berseri-seri, saling bersalaman dengan banyak orang yang berwajah berseri-seri pula. Kesimpulannya, dengan 'komposisi' wajah yang sama, Allah merubahnya menjadi begitu tampan tanpa menjadikan orang yang mengenalnya menjadi pangling. 

Akan halnya bapak, beliau dasarnya ganteng, berkulit bersih, kuning langsat, tinggi , tampan dan awet muda. Dan bapak lebih terlihat ganteng di saat-saat terakhir hidupnya.

Aku di rumah Ngantang sampai selamatan 7 hari meninggalnya bapak.  Di hari ketiga, aku melihat bapak seolah-olah datang menghampiri ibu, mencium keningnya seakan mengucap selamat tinggal, lalu bapak pergi menaiki kuda putih (tanpa sayap tapi bisa melesat terbang cepat sekali) , di belakang bapak ada 2 orang pengawal. 'Adegan' itu begitu nyata, lalu setelah itu aku tidak bisa lagi melihat bapak, walau aku paksakan, tetap saja tidak bisa, mungkin karena bapak sudah berada di tempat yang telah dijanjikan Allah untuknya.

Selamat jalan bapak, teriring doa dan cintaku.  Aku bangga menjadi anakmu, pasti kita bertemu lagi di tempat yang dijanjikan Allah untuk kita, seperti janjiNya dalam al quran.


1 komentar:

  1. ini status sahabatku mbak Yulfarida Arini di grup moms , amat menginspirasi bagiku :

    Bergantung sama suami?

    Aku tulis ini karena terinspirasi hasil inbox-an sama mbak Indah Innuri Sulamono tadi pagi. Kami berbagi cerita tentang kehilangan bapak, yang sama-sama meninggal mendadak. Ternyata kisah orang tua kami punya banyak kesamaan.
    Ibunya mbak Indah langganan rumah sakit karena penyakitnya. Almarhumah ibuku dulu juga demikian. Sepanjang yang aku ingat, ibuku yang aktivis banget itu sudah punya banyak penyakit sejak muda. Sejak aku SD, beberapa tahun sekali pasti masuk rumah sakit. Pernah karena sakit kuning, infeksi ginjal, liver, dan yang paling lama, hampir 2 bulan, karena kebakaran saat aku kelas 5 SD, plus tahap recovery sampai setahun lebih. Lalu, karena diabetes yang beliau derita sejak muda --umur 35an-- pada akhirnya ginjalnya kalah. Hingga meninggalnya, ibuku harus cuci darah.
    Dengan berbagai penyakitnya itu, wajar sekali kalau ibuku banyak bergantung kepada bapak. Apalagi setelah ketiga anaknya menikah dan tinggal di rumah masing-masing, praktis hanya bapak yang merawat ibu, melayani, mijitin, serta mengantar berobat, yang kebanyakan harus dilakukan di Surabaya, sekitar 100 km dari kampung kami. Mondar-mandir itu bapak masih nyetir sendiri.
    Karena penyakitnya itu, ibu mengajukan pensiun dini sebagai guru, dan pulang kampung ke Jombang. Ibu pilih mengajar TPQ di musholla keluarga yang dikelola yayasan keluarga besar kami, selain sesekali memenuhi undangan ceramah di mana-mana. Sementara itu bapak meneruskan kegiatan mengurus sawah ladang, serta aktif di masyarakat, termasuk untuk proyek-proyek pembangunan desa.
    Tahun 2005, hari ke-18 bulan puasa, usai sahur, tiba-tiba bapak kolaps. Tak lama usai subuh, bapak pergi selama-lamanya. Tak ada sakit dan tanda-tanda sebelumnya. Hari sebelumnya bapak masih ngantar ibu kontrol ke Surabaya, masih nyetir sendiri. Malamnya masih memimpin rapat panitia zakat fitrah di masjid kampung kami.
    Seperti juga kisahnya mbak Indah, orang-orang tidak percaya kalau bapak meninggal. Semua mengira ibu yang meninggal, karena ibulah yang sudah sakit bertahun-tahun.
    Meski sangat kehilangan, kami ikhlas, apalagi bapak tidak sempat menderita. Perginya sangat mudah. Meski kami mengundang dokter pagi itu, kami tidak pernah tahu apa penyebab kematiannya karena memang tidak dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Dugaan paling kuat adalah serangan stroke.
    Kepergian bapak tentu berdampak besar pada ibu. Alhamdulillah beliau tidak larut dalam kesedihan. Dalam salah satu obrolan, pernyataan ini yang aku ingat: "Kepergian bapakmu membuat ibu sadar kalau lagi dijewer oleh Allah. Kalau dipikir ibu selama ini terlalu bergantung sama bapakmu. Ini peringatan, bahwa kita hanya boleh bergantung pada Allah, gak boleh bergantung sama yang lain biarpun itu suami sendiri..."
    Hingga wafatnya 6 tahun setelah bapak, ibu menjalani hidupnya --lengkap dengan penyakitnya-- dengan baik. Meski rutin cuci darah, dan penglihatannya sudah sangat buruk, ibu bersikap sangat positif. Beliau rajin mengunjungi teman atau saudara yang sakit untuk memberikan motivasinya. Kondangan juga masih rajin. Juga masih memikirkan anak-anak desa yang butuh biaya sekolah. Uang pensiunnya digunakan untuk membayari sekolah beberapa anak desa kami.
    Semoga kisah ini bisa jadi cermin, terutama buatku sendiri. Kita tak pernah tahu kapan kita, atau suami kita, atau bahkan anak kita, harus meninggalkan dunia. Juga, pentingnya untuk tidak "taken for granted" untuk segala hal yang melekat pada diri kita. Suami kita, biarpun setia dan sayang kayak apa, belum tentu tidak "berangkat" duluan, seperti bapakku dan bapaknya mbak Indah. Anak yang paling berbakti sekali pun, juga kelak akan punya kehidupannya sendiri. Pada akhirnya hanya ada kita dan Allah....***

    BalasHapus